Mila dan Mas Rama
Judul Cerpen Mila dan Mas RamaCerpen Karangan: Wiriastini
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 15 November 2016
Author POV
“Hari ini aku mau mengadakan rapat di perusahaan mas, aku mau pergi mungkin 1 minggu.”
“Bagaimana dengan lamaranku?”
“Belum aku cek, aku masih sibuk sama proposal perusahaan.” Jawabku membereskan meja kerja yang penuh dengan kertas dokumen.
“Din, aku kan sudah mengajukan surat lamaran, disitu juga ada CV yang mengatakan pengalamanku sangat baik di bidang marketing.”
“Mas, perusahaanku itu tidak bisa main-main menerima karyawan.”
“Din, aku serius, aku tidak punya tujuan untuk main-main.”
“Jika kau mau tahu yang sejujurnya. Aku tidak akan pernah menerimamu di perusahaanku.”
“Kenapa?!”
“Aku malu mas, aku malu punya suami yang malah jadi bawahan istrinya. Aku malu kalok harus mengakui. Hai teman-teman ini suamiku dia bekerja sebagai ahli marketing di perusahaan kita, boleh tepuk tangan.” Kata Adinda mencibir suaminya.
“Din? Kau!!”
“Kenapa? Emang bener kan? Aku tidak pernah sesibuk ini sebelum kau bangkrut!” Adinda ke luar dengan hentakan kaki yang keras.
“Hai mama.. Aku mau main di taman, ikut yuk.”
“Gak bisa sayang, mama harus kerja. Mending kamu mainan sama orang yang gak punya kerjaan. Muah.. Mama mau pergi sayang.” Adinda bergegas meninggalkan rumah besarnya itu, tanpa berpamitan kepada Rama.
“Mama kapan pulang?!” Teriak Nila dari kejauhan.
“Seminggu sayang! Tunggu mama ya?!”
Mila hanya bisa menunduk sambil sesekali melirik arah mobil Adinda.
“Sayang? Mau main sama papa aja yuk?”
“Papa beneran mau main sama Mila?”
“Iya. Boleh kan?”
“Boleh boleh… Papa yang jaga ya? Kita main petak umpet aja.”
“Oke. Papa udah siap!”
“Jangan ngintip ya?” Mila mencari tempat persembunyian yang paling aman, yaitu di lemari mamanya.
“Delapan… Sembilan… Sepuluh.. Mila dimana ya? Kok susah sih nyarinya? Hmm.. Mila! Mil! Milaa! Kalo papa gak dapet 15 menit lagi, papa udahan ahh… Capek ni! Anak papa pinter banget sembunyinya!” Terak Rama mencari anaknya.
“Ihh.. Males ahh.. Papa gitu aja nyerah, mainnya udahan aja!” Rajuk Mila yang keluar dari persembunyiannya.
“Main petak umpet bukan keahlian papa, mending main piano yuk?” Kata Rama menggendong putrinya.
“Gak mau! Mila mau ngambek aja!”
“Yahh.. Jangan ngambek dong, papa kan baru sekali ini main sama Mila, masa Mila udah bosen aja. Ya udah dehh.. Gambar aja gimana?”
“Setuju!” Teriak Mila kegirangan.
“Oke kita main!” Kata Rama mengambil peralatan gambar di meja ruang keluarganya.
—
“Ini sih namanya corat-coret anak SD.”
“Kenapa sih Din?” Tanya Doni teman Dinda.
“Ini lo.. Proposal kayak begini, bisa masuk seleksi sama pak Herman. Kalok kayak gini, proposal mana yang bisa aku pilih?”
“Udah tenang aja, kamu itu harus rileks. Duduk aja dulu.” Kata Doni mengistruksikan Dinda dari belakang untuk duduk.
Doni mendekatkan indra penciumannya tepat di tengkuk Dinda. “Hmm.. Harum banget Din?”
“Don? Ini kantor. Temen macem apa kamu godain aku?”
“Tapi Din.. Ini.. Hmm.. Harum banget.”
“Don.. Arghh.. U..dah dong.” Desah Dinda yang terus mendapakan kecupan kecil di lehernya.
“Din, ini baru pertama kalinya aku berani gini.” Kata Doni.
“Don.. Arghh kamu jangan gini dong.”
“Biarin aja sayang. Ya? Kamu kan mau juga.”
Tok… Tok… Tok
“Don! Ada yang dateng.” Seketika Doni melepaskan aktivitasnya.
“Masuk!”
“Permisi bu, saya cuma mau memberikan ibu CV atas nama Rama Werdi.”
“Taruh di loker.. Hmm Ras, dan satu lagi. Katakan di perusahaan ini, tidak ada lowongan pekerjaan untuk karyawan baru.”
“Baik bu.” Raras pergi, dia merupakan sekertaris Dinda di kantornya.
“Lain kali jangan di kantor, di apartemen kamu aja langsung.” Kata Dinda menggoda Doni.
“Oke.”
“Iss.. Ngarep! Hahaha..”
“Tapi suka kan?” Goda balik Doni.
“Ohh ya, CV tadi, CV Rama? Rama suamimu kan?” Lanjut Doni bertanya.
“Iya. Udah gak usah bahas dia lagi. Capek, bikin ngantuk.”
“Iya. Apa lagi sama aku, jangan pernah mikirin dia.”
—
“Mila! mama pulang!”
“Mama! Yeee mama udah pulang. Mama, kita ke meja makan yuk? Papa tadi udah siapin makanan buat kita.”
“Iya.. Iya tapi mama ganti baju dulu.” Dinda berjalan ke arah kamar di atas, dia mengganti baju kantornya dengan piyama tidur.
“Malam sayang.” Sapa Dinda pada ananknya.
“Malam ma. Ma, aku gambar ini lo, liat. Bagus kan?”
“Mil, mama gak suka gambar. Mama gak tau mesti nilai dari segi apanya.”
“Seenggaknya kamu cukup bilang bagus, dia pasti seneng.” Terdengar suara bass dari Rama.
“Ck.. Ehh mas.. Mila itu sukanya mainan barbie, rumah-rumahan istana, dan semua itu perlu uang mas. Kamu bisa apa? Bisa nyuruh dia gambar doang?” Dinda meremehkan.
“Mama, tapi aku suka gambar kok.”
“Alah! Kamu lagi, ikut-ikutan aja. Siapa yang suruh kamu suka cuma modal kertas gambar sama pensil? Cowok pengangguran itu!?” Tunjuk Dinda tak sopan. Mila menangis, Dinda pergi dengan piyamanya mengendarai mobil, ke luar dari teras, sedangkan Rama menenangkan putrinya.
“Kamu jangan mancing kemarahan mama Mil, mama kamu capek, mama perlu istirahat, dan dia gak suka anaknya cerewet. Udah jangan nangis, besok juga mama bakalan baik lagi.”
—
“Kita cerai aja gimana? Bagus tu kayaknya.”
“Mila masih kecil Din.”
“Mila? Gak usah khawatir. Mila sama aku disini, hidup enak aja.”
“Mama, aku gak mau kalo papa gak tinggal disini.” Kata Mila polos masih dalam genggaman mamanya.
“Kamu mau ikut sama papa? Kamu dikasi pilihan kok milih hidup susah? Nanti juga kamu punya ayah Doni disini.”
“Aku gak mau. Aku mau ikut papa.”
“Ya udah! Kalian bisa ke luar sekarang. Mas, gugatan masih berlaku ya? Tinggal kamu tanda tangan aja.”
Mereka pergi. Mila dan Rama. Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah orangtua Rama yang sudah meninggal, berharap jika pilihan itu yang terbaik.
“Mama seminggu pergi langsung ngusir kita. Ini salah Mila ya pa?”
“Bukan. Mama kamu cuma mau kita itu gak ganggu sebentar aja. Sabar ya?”
“Tapi maksudnya papa Doni? Mila kan cuma punya papa Rama.”
“Doni itu paman kamu, kan papa juga namanya.”
“Mila sayang sama papa Rama.”
“Papa juga sayang sama Mila.” Mereka berpelukan. Erat, seakan tidak ada yang dapat memisahkan mereka.
Setahun berlalu. Rama menghidupi anaknya dengan bekerja sebagai sekertaris di perusahaan. Walaupun harus memindahkan Mila ke sekolah biasa, tapi Mila tidak pernah mempersoalkannya. Mila pernah bertanya, kenapa mamanya tidak pernah mengunjunginya. Rama teriris mendengar pertanyaan anaknya, dia bingung apa yang harus dijawab. Dari mulai sejak itu Mila tidak pernah bertanya dimana mamanya.
Seorang wanita hanya bisa memandang kagum, sedih, terpukul melihat pemandangan di depannya. Ia mengikuti kemana jalannya mobil taksi itu.
“Mas? Kamu disini? Mas aku mau minta maaf. Aku kangen sama Mila mas.” Kata Dinda berada tepat di depan rumah mertuanya.
“Mas? Jawab mas.. Mila dimana?” Dinda mendapati sosok yang dicarinya. Mila. Anaknya. “Mila? Mila anak mama, gimana kabar kamu sayang?”
“Papa, Mila ke atas dulu ya pa?” Kata Mila mundur perlahan menjauhi Dinda.
“Udahlah Din, dia udah mulai nyaman di rumah ini, di rumah neneknya. Tapi masalah perceraian. Maaf aku gak bisa ngabulin, jujur aku masih sakit hati tapi aku masih menyayangimu. Tolong keluar ya, Aku mohon.” Rama mendorong lembut istrinya untuk ke luar dari rumah itu. Rama menutup halus pintu yang menghalangi tubuh Dinda.
“Mas.. Aku kesini mau jemput kalian mas.. Mas! Mas Rama buka pintunya mas!? Mas Rama buka!”
—
“Yee aku dapet juara satu lo pa.. Seneng deh, besok teraktir aku gelato ya pa?”
“Siap.” Kata Rama sambil mencoba mencegat taksi yang berada di dekat sekolah Mila. Sampai ada sebuah taksi yang berhenti di seberang jalan.
“Mas! Awas!!!”
BRUK..!!!
Seoarang wanita tersungkur di tengah jalan dengan memeluk Rama. Dinda. Rama jatuh dengan Dinda di bawahnya. “Dinda?!”
“Mas?”
“Dinda kamu?!” Kata Rama tidak mengerti apa yang terjadi, dia tidak bisa melihat keadaan istrinya.
“Biarkan seperti ini mas. A.. Aku, aku lu..pa.. Kapan terakhir.. Ki.. Kita seperti ini.”
“Papa! Mama berdarah!”
“Dinda tolong jangan seperti ini. Lepas! Aku akan membawamu ke rumah sakit.”
“Biarkan seperti ini. Maafkan aku mas Rama.”
“Iya.. Iya aku maafkan, tapi tolong lepas. Kita akan ke rumah sakit.” Pelukan erat Dinda melonggar, perlahan terlepas, Dinda tidak sadarkan diri.
—
“Gimana dok?”
“Dia lumayan banyak kehilangan darah. Berdoa saja agar dia bisa menghadapi pase kritisnya.” Rama masuk ke ruangan Dinda dengan menggenggam erat tangan Mila. “Mila anak papa, kamu bilang sayang sama mama nak, biar mama bangun.”
“Mila gak pernah denger maaf dari mama, pa.”
“Dia pasti maafin kamu sayang. Makannya sayangin mama.” Kata Rama menahan getirnya.
—
“Gimana keadaan kamu?”
“Membaik mas. Mas? Aku udah gak bisa kerja karena kaki aku. Mas mau kan handel perusahaan aku?”
“Tapi Din?”
“Mau ya mas, kali ini aku yang ada buat Mila.”
“Iya. Aku janji aku akan terus ada di samping kamu dan Mila.”
“Mila juga janji bakalan ada di samping mama terus. Oh ya ma, selama mama marah sama Mila, Mila belajar gambar yang bagus, biar mama gak marah lagi, akhirnya Mila juara satu menggambar ma.”
“Mama ikut seneng sayang.”
“Makasi ma.”
Mereka bahagia, tapi tidak dengan Dinda. Ada sedikit rasa luka yang ia rasakan akibat perlakuannya dulu. Merasa sangat tidak tahu diri, itu yang dia rasakan, tapi ketika ketulusan dari seorang suami dan putri kecilnya, dia sadar, maaf bukan pilihan yang tepat untuk menyembuhkan luka.
Cerpen Karangan: Wiriastini
Facebook: Wirias Tini
Aku penulis wattpad, gak terkenal sih.. Cuma yang follow ada lah.. Aku tinggal di Bali. Lahir dimana lagi krisis moneter. Aku biasa di pangg Wikook itu nama pena aku.
Cerita Mila dan Mas Rama merupakan cerita pendek karangan Wiriastini, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/mila-dan-mas-rama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar