Senin, 14 November 2016

Cerpen Karena Cinta

Karena Cinta

Judul Cerpen Karena Cinta
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 15 November 2016
Akhirnya hari itu datang juga. Setelah berpacaran selama 3 tahun, Rendy kekasihku resmi melamar. Dan hari ini dia berencana mengajakku berkunjung ke rumah orangtuanya di Surabaya. Aku dan Rendy sama-sama tinggal di kota Malang. Kami sama-sama bekerja di sana.
Aku sama sekali nggak punya family disini. Satu-satunya keluargaku adalah Oma Nonik. Beliau adalah orang yang mengasuhku dari kecil. Sebenernya aku belum bisa dibilang yatim piatu sih! Karena aku sendiri nggak tau apa orangtuaku masih hidup atau sudah meninggal. Oma Nonik menemukanku 19 tahun yang lalu. Waktu itu usiaku masih 5 tahun. Satu-satunya benda yang kubawa waktu itu adalah sebuah liontin berbentuk hati bertuliskan Cinta. Itu sebabnya Oma Nonik memanggilku Cinta.
“Nah! Akhirnya sampai juga”, kata Rendy sambil memasukkan mobilnya di sebuah halaman rumah yang cukup besar dan megah.
“Ini rumah kamu, Ren?”, tanyaku terkagum-kagum.
“Bukan. Ini rumah orangtuaku”, jawab Rendy.
“Ya sama aja kan? Rumah mereka rumah kamu juga. Iya kan?”.
Rendy tersenyum manis. “Udah… Kapan turunnya nih kalo ngobrol terus?”
“Oiya, sampe lupa!”, jawabku sambil membuka pintu mobil.
“Kamu tuh kebiasaan ya? Jadi cewek jangan terlalu mandiri juga kali…”, kata Rendy tiba-tiba.
“Maksud kamu?”
“Aku kan juga pengen sekali-kali memperlakukan kamu seperti seorang putri… Membukakan pintu mobil, kemudian mengulurkan tangan dan…”
“Udah-udah! Nggak usah diterusin! Sok romantis banget sih!”, potongku sambil tertawa geli.
Rendy kemudian mengangkat alisnya dan memanyunkan mulutnya. Biasanya kalo udah gitu dia selalu minta cium.
“Ren, ini di rumah kamu lho…”, kataku mengingatkan.
“Becanda sayang… Masuk yuk!”, ajak Rendy seraya membawa tas koperku yang sudah diambilnya dari bagasi.
Rendy berjalan mendahuluiku. Dia begitu semangat ingin bertemu keluarganya. Terlebih lagi dia pulang untuk ngenalin aku sebagai pacarnya.
“Mama! Rendy pulang nih!”, teriak Rendy ketika memasuki rumah.
Aku masih berdiri di teras. Entah kenapa aku seperti nggak asing dengan tempat ini.
“Eh, anak Mama…”, kata sebuah suara yang kuyakini adalah Mama Rendy.
“Apa kabar, Ma?”, tanya Rendy sambil memeluk wanita cantik berusia 40 tahunan.
“Baik sayang… Kamu sendiri gimana? Katanya anak Mama udah siap nikah neh…”, goda Mama.
“Ah, Mama bisa aja! Oia, aku mau ngenalin seseorang sama Mama”, kata Rendy sambil berjalan menghampiriku yang tengah berdiri memandang halaman rumahnya.
“Cinta, sini! Kenalin ini Mamaku. Ma, ini Cinta. Dia…”
Mama Rendy memandangiku lekat-lekat. Entah apa yang dipikirkannya. Aku mengulurkan tangan dan mencium lembut punggung tangannya.
“Apa kabar, Tante?”, tanyaku basa-basi.
Mama Rendy nggak menjawab. Tiba-tiba tangan kanannya mengusap lembut pipiku. Aku tertegun. Rendy juga menatap heran ke arah kami.
“Ma, Mama kenapa?”, tanya Rendy tiba-tiba.
Spontan Mama Rendy melepaskan tangannya dari wajahku.
“Oh, ah! Maafin Mama. Mama bener-bener kagum sama kamu, Ren! Kamu pintar sekali mencari pacar”, kata Mama Rendy kemudian. “Kamu cantik sekali Cinta. Rendy pasti sangat beruntung ngedapetin kamu”, lanjutnya.
“Makasih Tante… Cinta juga ngerasa sangat beruntung bisa bertemu Tante. Tante juga cantik! Andai saja…”, aku menghentikan ucapanku.
“Andai saja apa, Nak?”, tanya Mama Rendy.
“Oh, nggak Tante. Nggak usah dibahas”, jawabku sambil mengusap sudut mataku yang ternyata sedikit basah oleh air mata.
“Ya udah, ajak masuk sana! Kenalin sama yang lain”, suruh Mama Rendy.
Kami masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan keluarga yang lain. Tante Sofi, Mama Rendy memiliki 2 orang anak laki-laki. Dan 1 suami tentunya. Namanya Om Rony. Beliau adalah seorang pensiunan Angkatan Laut. Setelah ngobrol banyak dengan Om Rony, aku diajak ke dapur untuk berkenalan dengan para pembantunya.
Ada Mas Joko. Dia tukang kebun disini. Istrinya, Mbak Lastri adalah orang yang membantu Tante Sofi dalam urusan merapikan rumah. Sedangkan Mak Ijah, beliau yang bertugas di dapur. Alias tukang masak. Satu lagi ada Mbak Dwi. Dia ini usianya mungkin seumuranku. Tapi jadi kelihatan lebih tua karena kurang merawat diri. Dia bertugas untuk mencuci dan menyetrika baju.
“Senang sekali bisa kenal sama kalian semua”, kataku di sela-sela perkenalan kami.
“Kami juga, Neng! Makanya buruan nikah sama Den Rendy. Biar bisa ketemu sama kami setiap hari”, kata Mak Ijah.
“Ye… Emang kita ini orang penting apa, Mak?”, sahut Mas Joko becanda.
Aku hanya tersenyum mendengar perdebatan mereka yang lucu.
Hh… Waktu istirahat pun tiba. Aku menuju ke kamar yang khusus disiapkan untukku. Membaringkan tubuhku ke tempat tidur dan memejamkan mataku sebentar. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.
“Bilang aja aku nggak ada, Mak!”, kata seorang cowok yang tiba-tiba masuk ke kamarku dan menguncinya dari dalam.
“Si.. siapa kamu?”, tanyaku takut karena ada cowok yang nggak aku kenal masuk ke kamarku.
Cowok itu menoleh. Dia juga sama terkejutnya seperti aku. “Oh, God! Ada bidadari rupanya. Hmm… Cantik juga…”, katanya sambil melangkahkan kaki mendekatiku.
Aku yang sedang berdiri di tepi ranjang tiba-tiba terjatuh dalam posisi telentang di ranjang. Aku semakin takut ketika cowok itu semakin mendekatiku.
“Si, siapa kamu?”, tanyaku terbata-bata.
“Siapa aku? Harusnya aku yang tanya siapa kamu gadis cantik? Kenapa ada di kamar ini?”, katanya semakin mendekat hingga wajahnya nyaris menyentuh wajahku. Kini posisinya hampir menindihku.
Mata kami beradu. Aku memejamkan mata karena takut. Terasa sekali desahan nafasnya di ujung hidungku. Hingga tiba-tiba pintu diketuk dengan keras dari luar.
“Cinta! Cinta!”, teriak Rendy kencang.
Oh Rendy! Kau telah menyelamatkanku. Cowok itu segera minggir dari atas tubuhku. Aku berdiri dan berlari ke arah pintu lalu membukanya.
“Cinta kamu udah ketemu…”, kalimat Rendy berhenti ketika aku tiba-tiba memeluknya.
“Cinta kamu kenapa?”, tanya Rendy bingung melihat tingkahku.
Cowok di dalam kamarku tiba-tiba keluar. “Kak Rendy?”, kata cowok itu.
“Adit?”, Rendy melepaskan dekapannya dan berjalan mendekati cowok yang di panggilnya Adit itu. “Apa kabar saudaraku?”, katanya.
What? Saudara? Jadi cowok aneh itu saudara Rendy. Jangan-jangan dia adik kandung Rendy. Pikirku dalam hati.
“Baik bro… Loe sendiri gimana kabarnya? Nggak nyangka loe masih inget rumah!”, canda cowok itu yang ternyata benar adik kandung Rendy. Adit.
Rendy tertawa kecil mendengar guyonan adiknya.
“Oia, dia cewek loe?”, tanya Adit sambil melirik ke arahku.
Rendy menoleh dan mengangguk. “Iya! Dia calon kakak ipar loe. Kenalin. Namanya Cinta”, kata Rendy mempersilahkan.
Adit mengulurkan tanganya, “Adit”, ucapnya.
Aku membalas uluran tangannya dengan ragu, “Cinta”.
“Sorry soal tadi. Gue nggak tau kalo’ loe cewek kakak gue”, katanya.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Ada apa nih? Kok pake minta maaf?”, tanya Rendy penasaran.
“Loe nggak nanya kenapa gue bisa keluar dari kamar cewek loe?”, kata Adit.
“Oia, gue emang mau nanya…”
“Tadi cewek gue dateng. Gue udah bilang kalo gue nggak di rumah. Gue juga udah nitip pesen sama Mak Ijah. Tapi doi tetep nggak percaya kalo gue nggak ada. Jadi, sebelum dia nyelonong masuk ke kamar gue, mending gue sembunyi di kamar tamu aja. Eh, nggak taunya ada cewek loe lagi tiduran di kamar”, jelas Adit detail.
“Trus?”, tanya Rendy ingin tau kelanjutan ceritanya.
“Ya terus loe dateng deh ngetuk tuh pintu. Padahal tinggal sedikit lagi cewek loe udah gue sikat abis!”, lanjut Adit.
“Gila loe!”, kata Rendy sambil mengejar adiknya yang nyelonong ninggalin kami.
Sore itu aku sedang duduk di teras rumah Rendy sembari membaca novel misteri favoritku.
“Udah lama loe kenal kakak gue?”, sebuah suara mengejutkanku.
“Adit? Kamu ngagetin aja”, kataku spontan.
Adit menatap ke arahku. Seolah menunggu jawaban atas pertanyaannya.
Aku jadi salting dilihat seperti itu. Matanya begitu indah. Berpadu dengan alis yang menunjukkan karakter keras kepala si empunya. Beda sekali dengan Rendy yang lembut dan penuh kehangatan tiap aku memandangnya.
“Kami berpacaran udah hampir 3 tahun. Itu belum termasuk masa penjajakan”, jawabku sambil meneruskan membaca.
“Ortu loe kerja apa?”, tanya Adit lagi seolah sedang mewawancaraiku.
“Emm… Sebenernya aku nggak punya orangtua”
“Maksud loe, loe yatim piatu”, tebak Adit yang membuatku memutuskan untuk menutup novel di tanganku meski ceritanya udah mulai seru.
Aku menghela nafas panjang. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut.
“Entahlah! Aku nggak pernah tau siapa orangtuaku. Meski aku berusaha untuk mengingat-ingatnya, tapi aku sama sekali nggak menemukan jawabannya”
Adit membetulkan posisi, menanti kelanjutan ceritaku.
“Oma Nonik menemukanku di tempat wisata 19 tahun yang lalu. Mungkin aku tertinggal oleh orangtuaku. Mungkin juga aku emang sengaja ditinggal mereka. Tapi satu hal yang aku tau, dari peristiwa itu aku mendapatkan kehidupan yang baru. Kehidupan seorang Cinta yang harus bisa tegar menghadapi kerasnya dunia. Oma Nonik adalah satu-satunya keluargaku. Sebelum akhirnya Rendy mengulurkan tangannya untuk memberikan harapan akan keluarga baru untukku”, ceritaku yang membuatku berkaca-kaca.
“Loe beneran cinta sama kakak gue?”, tanya Adit kemudian.
Aku menyeka mataku dengan ujung jari. “Nggak!”
Adit terkejut.
“Aku nggak hanya cinta sama Rendy. Tapi aku juga sangat menyayanginya, dan berharap dia orang pertama dan terakhir dalam hidupku”
Adit menghela nafas panjang. “Gue percaya dengan kekuatan cinta. Tapi gue nggak pernah percaya dengan wanita”, ucap Adit seraya bangkit dari duduknya lalu pergi.
Aku masih terngiang-ngiang oleh ucapan Adit tadi. Apa maksudnya? Namun semuanya buyar ketika Rendy datang dan menawariku untuk jalan-jalan keliling kota Surabaya.
“Oiya, sayang… Besok kalo kita udah nikah, kamu mau tinggal dimana?”, tanya Rendy di tengah-tengah perjalanan.
“Aku sih pengennya tetep di Malang. Kasihan Oma Nonik kalo harus ditinggal sendiri. Beliau udah tua. Tapi, semuanya terserah suamiku nanti. Aku akan ikut kemanapun dia mengajakku”, jawabku yang membuat Rendy menyunggingkan senyumnya untukku.
“Oia, si Adit kuliah atau kerja?”, tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Nggak dua-duanya”
“Maksud kamu dia udah lulus kuliah…”
“Drop Out lebih tepatnya”, potong Rendy.
“Drop Out?”, kataku terkejut.
“Iya sayang! Adit ketauan teler di kampus. Parahnya dalam keadaan mabuk dia memukul dosen yang memarahinya. Untung aja nggak dilaporin ke polisi. Karena itu akhirnya dia di-DO dari kampusnya. Padahal dia salah satu mahasiswa yang pandai”
“Kok bisa gitu, Ren?”, tanyaku penasaran.
“Iya! Dan sekarang pekerjaannya adalah mengencani banyak wanita dan kemudian mempermainkan perasaan mereka”
“Adit playboy?’, tanyaku.
“Sebenernya sih bukan. Cuma karena dulu dia pernah patah hati, makanya dia jadi seperti itu. Dia sangat mencintai pacarnya yang dulu. Karena mereka udah berhubungan sejak lama. Tapi ternyata pacarnya malah selingkuh sama sahabat Adit sendiri. Sejak saat itu dia nggak percaya lagi sama cewek. Termasuk sama mama”
“Sama mama kamu? Kenapa?”
“Semuanya berawal dari pernikahan kedua mama”, Rendy memulai ceritanya. “Sebenernya papa Rony bukanlah papa kandung kami. Papa kandung kami udah lama meninggal. Waktu kami masih kecil. Dan ketika usiaku 10 tahun dan Adit 7 tahun, mama memutuskan untuk menikah lagi. Adit nggak setuju dengan keputusan mama. Aku membujuknya. Berusaha menjelaskan bahwa mama membutuhkan pendamping untuk melindungi kami. Dan akhirnya Adit pun setuju. Tapi, sekalipun Adit nggak pernah memanggil papa Rony dengan panggilan Papa. Itu karena dia masih belum bisa menerima pernikahan mama denga papa Rony”, jelas Rendy yang membuatku mengambil kesimpulan terhadap tingkah laku Adit.
Aku menghela nafas panjang. “Kasihan Adit. Dia nggak nyadar kalo sikapnya bisa menghancurkan hidupnya sendiri”
3 bulan kemudian. Aku resmi menikah dengan Rendy. Dia memintaku untuk berhenti bekerja dan tinggal di rumah orangtuanya di Surabaya. Sementara Rendy untuk sementara harus pulang pergi Malang-Surabaya sebelum akhirnya aku menyarankan untuk pulang seminggu sekali aja.
“Kamu nggak jadi pulang sekarang ya?”, kataku pada Rendy yang meneleponku dari Malang.
“Iya cinta… Aku nggak bisa pulang sekarang. Tapi aku janji aku akan pulang 2 hari lagi. Tunggu aku ya sayang…”, kata Rendy mesra.
“Aku bisa aja nunggu, tapi aku nggak bisa nunggu untuk kasih tau kamu kalo…”, aku berhenti.
“Kalo apa sayang…?”
“Kalo kamu akan jadi seorang ayah”, kataku sambil mengusap-usap perutku.
“Oiya? Jadi kamu hamil?”, tanya Rendy girang.
“Iya”, jawabku malu-malu.
“Alhamdulillah! Akhirnya Tuhan menjawab doa-doaku. Oia, kamu tau dari mana kalo kamu hamil?”, tanya Rendy disela kebahagiaannya.
“Tadi siang aku muntah-muntah. Trus aku pergi ke dokter untuk periksa. Setelah tes urine, dokter bilang kalo aku positif hamil 5 minggu”, ungkapku.
“5 minggu? Oh Tuhan… Terima kasih! Oia, mama udah tau soal ini?”
“Belum, Ren! Mama sama papa lagi pergi kerumah temennya. Katanya sih besok pagi ada arisan. Jadi biar nggak telat datengnya mama berangkat siang tadi”, jawabku seraya memandang keluar jendela. Malam ini langit tampak mendung. Mungkin sebentar lagi turun hujan.
“Jadi kamu sendirian di rumah?”, tanya Rendy khawatir.
“Iya sayang… Tadi sih Mak Ijah menawarkan diri untuk nginep. Tapi aku menolak. Soalnya cucunya Mak Ijah kan lagi sakit”, terangku sambil menutup jendela kamar karna hujan udah mulai turun.
“Kalo gitu aku pulang sekarang aja dech! Aku nggak tega lihat kamu sendirian”
“Nggak usah sayang… Lagi hujan juga. Emang disana nggak hujan ya?”
“Iya sih! Disini dari tadi hujan rintik-rintik. Ya udah kalo gitu aku pulang besok pagi. OK!”
“Nah! Kalo itu nggak papa…”, kataku senang.
“Ya udah! Kamu hati-hati ya sayang… Jaga calon anak kita baik-baik ya…”
“Iya suamiku tercinta…”, kataku menggoda.
Obrolan kami pun berakhir.
Aku melangkahkan kaki hendak naik ke tempat tidur sebelum akhirnya terhenti karena terdengar suara pintu di ketuk dengan keras.
“Duh! Siapa sih malem-malem gini bertamu”, kataku seraya bangkit dan membukakan pintu.
Aku membuka pintu dan betapa terkejutnya ketika aku melihat Adit dengan luka memar di wajahnya. Badannya basah kuyup karena hujan. Padahal dia naik mobil.
“Adit? Kamu kenapa?”, kataku sambil memapahnya masuk.
Adit hanya diam sambil sesekali mendesis menahan sakit di wajahnya.
“Kamu berantem?”, tanyaku yang lagi-lagi nggak mendapat jawaban.
“Ya udah kamu duduk dulu biar aku ambilin air hangat”, kataku.
Aku kembali ke ruang tamu sambil membawa baskom berisi air hangat dan kotak obat. Aku lihat Adit udah nggak ada di ruangan itu. Mungkin dia di kamar. Aku memutar tubuh dan berjalan ke kamar Adit.
Aku mengetuk pintu dan memanggilnya, namun tetap aja nggak ada balasan. Akhirnya aku buka pintu kamar Adit yang ternyata nggak dikunci. Kulihat Adit yang ternyata udah berganti pakaian sedang rebahan di tempat tidurnya.
“Dit… Sini! Biar aku obatin lukanya!”
Adit bangun dan bersandar di sandaran tempat tidur. Mukanya lebam. Penuh luka. Aku mulai membersihkan wajahnya dengan handuk hangat.
“Auw!”, jerit Adit kesakitan.
“Sorry-sorry! Sakit ya…”
“Nggak papa!”, jawab Adit.
Aku menghela nafas panjang kemudian melanjutkan lagi membersihkan wajah Adit.
“Harusnya kamu nggak perlu menyiksa diri seperti ini. Kamu sadar nggak apa yang kamu lakuin malah akan nghancurin hidup kamu, hidup orang-orang di sekitar kamu”, tuturku menasehati.
Tiba-tiba tangan Adit menghentikan tanganku.
“Tau apa loe soal hidup gue?”, kata Adit dengan nada ketus.
“Emm… Aku nggak tau banyak. Tapi aku tau ini semua kamu lakuin untuk melampiaskan amarah kamu pada orang-orang yang udah nyakitin kamu. Iya kan?”
“Heh! Jangan sok tau loe!”
“Aku nggak bermaksud untuk sok tau! Apalagi ikut campur dengan kehidupan kamu. Tapi, yang perlu kamu inget, kehidupan tetap berjalan. Jangan hancurin kehidupan kamu hanya karena sakit yang mungkin sebenernya bisa kamu obatin”, kataku sambil menempelkan plester di dahinya.
“Masih banyak orang yang peduli dan sayang sama kamu”, kataku sambil melangkah ke luar kamar.
Tiba-tiba Adit menarik tanganku dan merapatkannya ke dinding kamar. Aku terkejut dan memegangi perutku.
“Loe nggak tau apa yang gue rasain! Semuanya nggak pernah tau!”, kata Adit penuh amarah sambil memegang wajahku dan mendekatkan ke wajahnya.
“Semua orang di rumah ini sayang sama kamu, Dit! Semuanya sayang…”
“Oh ya? Kalo gitu berarti loe juga sayang sama gue?”
“Iya! Aku sayang sama kamu sebagai adik dari Rendy! Aku sayang sama kamu sebagai adik”
“Bohong! Semua wanita itu pembohong! Mereka itu penghianat!”, teriak Adit yang kemudian dengan kalap menciumku.
“Dit…”, aku berteriak namun suaraku terhalang oleh ciuman buasnya di bibirku.
Tangannya mencengkeram erat tanganku sementara bibirnya terus mencumbuku.
“Adit! Hentikan! Aku kakak kamu, Dit! Aku istri kakak kamu”, pintaku sambil menangis.
Aku berusaha melepaskan diri namun tubuh Adit terlalu kuat menindih tubuhku. Hingga akhirnya semua terjadi. Adit melakukan hal yang seharusnya nggak ia lakukan kepada kakak iparnya. Aku menangis. Tubuhku lemah sementara Adit tertidur pulas di sampingku.
Disela-sela tangisku tiba-tiba aku merasakan sakit di perutku. Rasanya seperti ada sesuatu yang akan keluar. Dan ternyata benar, darah segar keluar membasahi rok yang kukenakan. Rasa sakitnya semakin parah, hingga aku memegang perutku keras sekali. Aku menangis keras. Sakit bercampur takut akan sesuatu yang akan terjadi.
Adit terbangun dan melihatku memegangi perut. Matanya terbelalak ketika menatap alas tidurnya kini telah berubah warna menjadi merah.
“Cinta… Kamu…”
“Ah… Sakiiit…”, rintihku dengan peluh membasahi tubuhku.
Adit segera bangkit dan meraih pakaiannya. Lalu segera membopongku ke luar. Adit menaruhku di jok belakang. Sementara dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku tak mempedulikan sedikitpun. Bahkan aku tak sempat menanyakan tujuannya.
Mobil Adit berhenti tepat di depan Rumah Sakit Umum. Dia berlari meminta bantuan perawat untuk membawaku ke dalam. Beberapa orang berseragam putih-putih datang dengan membawa tempat tidur beroda. Dengan segera mereka membawaku ke ruang UGD.
Aku terus merintih dan menahan sakit yang amat sangat di perutku. Sementara darah masih saja keluar. Hingga 10 menit kemudian aku tak sadarkan diri.
Seorang dokter ke luar dari ruang UGD dan menemui Adit yang tampak panik.
“Anda suami pasien?”, tanya sang dokter.
“Emm, sa..saya…”, jawab Adit bingung. “Kenapa dengan Cinta dokter?”, tanyanya kemudian.
“Maaf, Pak! Saya harus menyampaikan berita buruk ini kepada bapak”, kata dokter yang membuat Adit semakin panik.
“Maksud dokter? Cinta…”
“Istri anda mengalami keguguran. Bayinya tidak dapat diselamatkan”.
Bagai disambar petir Adit mendengar berita ini. Dia terduduk lemas. Penyesalan pun menghantui dirinya. Dia menutup mukanya dan mengutuki apa yang telah dilakukannya padaku.
Dokter mempersilahkan Adit menemuiku yang masih tertidur karena pengaruh obat bius. Dia duduk di sampingku. Digenggamnya erat tanganku sambil terisak.
“Maafin gue! Maafin gue! Gue emang bejat! Gue nggak pantes disebut manusia. Maafin gue…”, ucapnya sambil terus menangis.
Aku mendengar sayup-sayup suara Adit. Tapi aku sama sekali belum kuat untuk membuka mata. Aku bersyukur sejenak. Setidaknya aku nggak perlu merespon atas apa yang dikatakan oleh adik iparku itu. Meski rasanya ingin kubunuh dia karena telah menghancurkan buah cintaku dengan Rendy.
Tiba-tiba pintu terbuka dan suara Rendy mulai memecah keheningan. Adit bangkit dan menjauh dariku. Melepas genggaman tangannya dan membiarkan Rendy mengambil alih.
“Cinta! Cinta!”, panggil Rendy seraya langsung meraih tanganku dan mengecupnya.
“Ada apa sayang? Apa yang telah terjadi?”, tanya Rendy sambil mengusap lembut rambutku. Dia sadar aku masih terpejam dan nggak mungkin bisa memberikan jawaban.
Pandangan Rendy beralih ke Adit.
“Apa yang terjadi pada Cinta?”, tanya Rendy.
“Cinta keguguran, Kak! Dan itu semua karena salah gue”, jawab Adit sambil tertunduk lesu.
“Maksud loe? Apa yang udah loe lakuin sama Cinta?”, tanya Rendy sambil menggoyang keras bahu Adit.
“Ren…”, panggilku yang akhirnya terbangun.
“Cinta! Kamu udah sadar sayang? Gimana keadaan kamu?”, tanya Rendy yang langsung berlari ke arahku.
“Ren, anak kita… Anak kita…”, kataku yang langsung nggak kuat menahan tangis.
Rendy memelukku. “Iya sayang… Aku tau. Kamu sabar ya.. Mungkin Tuhan punya rencana lain”, ucapnya menenangkanku.
“Oia, loe belum kasih tau gue, Dit! Apa maksud loe dengan ini semua karena salah loe?”, tanya Rendy dengan nada kesal meski belum tau yang sebenarnya.
“Maafin gue, Kak! Gue… Gue…”
“Adit nggak salah, Ren”, potongku tiba-tiba.
Adit dan Rendy spontan menoleh ke arahku.
“Aku yang maksa Adit untuk bantu ngobatin luka dia. Aku ngambil kotak obat tapi lemarinya cukup tinggi. Jadi aku pake kursi buat ngambil kotak itu. Tapi tiba-tiba kursinya miring dan aku terjatuh”, jelasku yang terpaksa berbohong pada suamiku.
Adit menatapku seolah bertanya kenapa aku melindunginya.
Rendy memahami ceritaku. Dan dia pun kembali memelukku.
Dua bulan berlalu. Rendy memutuskan untuk membeli rumah di Malang. Alasannya supaya kami bisa berkonsentrasi untuk punya momongan lagi. Sejak kejadian itu aku nggak pernah bicara dengan Adit. Sepulang dari rumah sakit waktu itu adalah hari terakhirku bertemu dengannya. Kabar terbaru yang aku terima dari Rendy, dia kini telah melanjutkan kuliahnya di luar kota. Dan bekerja sambilan sebagai guru privat bahasa Inggris. Mama bilang Adit berubah. Dia nggak lagi suka clubbing, mabuk dan yang paling penting Adit udah tobat jadi playboy.
Setahun kemudian aku dinyatakan hamil oleh dokter. Aku dan Rendy sangat bahagia. Kami mengadakan syukuran yang dihadiri oleh seluruh keluarga besar Rendy. Termasuk Adit. Dia datang bersama kekasihnya. Di tengah-tengah acara Adit menghampiriku.
“Cin, gimana kabar loe?”, tanyanya mengejutkanku.
“Adit? Hai! Aku baik. Kamu? Aku denger dari Rendy kamu mau melamar pacar kamu ya?’, tanyaku ragu-ragu.
Adit mengangguk. “Oiya, gimana kandugan loe? Udah masuk bulan ke berapa sih?”
“Udah 4 bulan”, jawabku.
Adit menghela nafas panjang. “Maaf soal kejadian waktu itu… Gue bener-bener…”
“Udahlah, Dit! Itu udah jadi masa lalu buat aku. Dan aku nggak pengen kita ngebahas masa lalu. Anggep aja semuanya nggak pernah terjadi”, potongku seraya meraih piring-piring kosong di atas meja.
“Iya. Tapi gue pengen tau kenapa loe nggak kasih tau yang sebenernya sama Rendy?”.
“Aku amat sangat mencintai Rendy. Aku nggak mungkin menyakiti perasaannya dengan pengakuan kamu. Kejadian itu cukup kita dan Tuhan aja yang tau. Selain itu aku nggak mau nantinya hubungan adik dan kakak menjadi buruk”, jelasku tegas.
“Cin, sekarang gue percaya! Nggak semua cewek itu brengsek. Nggak semua cewek itu penghianat. Makasih karena loe udah berkorban demi hubungan persaudaraan gue. Makasih!”, ucap Adit seraya meraih tanganku dan mengusapnya lembut.
Aku menarik tanganku. “Maaf! Aku lakuin ini bukan karena kamu. Tapi karena Rendy. Aku berharap kamu bisa jadiin ini pelajaran untuk hidup lebih baik”.
Adit mengangguk. Dia tersenyum sambil mengusap sudut matanya dengan ujung jarinya. Sepertinya dia terharu.
“Woi! Lagi ngobrolin apaan sih? Serius banget!”, kata Rendy yang tiba-tiba memelukku.
“Ah nggak! Gue cuman ngingetin dia aja supaya lebih hati-hati jaga kandungannya”
“Wui… Dewasa banget loe sekarang! Kesambet apa loe bisa berubah kayak gini?”, tanya Rendy menggoda.
Tiba-tiba datang seorang gadis cantik berwajah kebule-bulean. Dia Serly, pacar Adit.
“Semua karena cinta, Kak!”, kata Adit sambil memeluk kekasihnya itu.
Rendy dan aku saling pandang. Kemudian tertawa bahagia. Semua duka di masa lalu telah terkubur jauh. Nggak ada yang tau tentang luka itu selain aku dan Adit. Dan kamipun berjanji untuk tetap merahasiakan semuanya sampai ajal menjemput kami.
Cerpen Karangan: Septi Aya MU
Facebook: Septi Aya Moment
Cerita Karena Cinta merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/karena-cinta-2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar