Paus, Relativisme Iman, Dan Al Qur'an
Paus mencium Al Qur'an
Paus dan Kristen menolak paham Relativisme Iman. Maka suatu hal yang aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam dunia Barat.
Pada 17 Januari lalu, Surat Kabar New York Sun, menurunkan tulisan Daniel Pipes, berjudul "The Pope and the Koran" (Paus dan Al Qur'an). Pipes, yang dikenal sebagai ilmuwan garis keras dalam memandang Islam, mengungkap pernyataan Paus Benediktus XVI tentang Al Qur'an, dalam sebuah seminar tentang pemikiran Fazlur Rahman, pada September 2005 lalu.
Paus, seperti dikutip Pipes, dari Pastor Joseph D. Fessio, menyatakan, bahwa dalam pandangan tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kataNya kepada Muhammad, yang merupakan kata-kata abadi. Al Qur'an sama sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu bersifat abadi, sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi, atau menafsirkannya kembali (There’s no possibility ofadapting it or interpreting it).
Menurut Paus, sifat Al Qur'an yang semacam itu, memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam Yahudi dan Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluknya. Maka, kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus.
Dalam istilah Paus,“Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-katanya kepada manusia” (He’s used His human creatures, and inspired them to speak His word to the world).”
Karena itu, menurut Paus, kaum Yahudi dan Kristen, dapat mengambil apa yang baik dalam tradisi (kitab) mereka dan menghaluskannya. Jadi, kata Paus, dalam Bible itu sendiri ada logika internal yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diaplikasikan sesuai dengan situasi dan kondisi yang baru (There is, in other words,“an inner logic to the Christian Bible, which permits it and requires it to be adapted and applied to new situations”). Dalam istilah Paus, Bible adalah “kata-kata Tuhan yang turun melalui komunitas manusia”.
Konsep itu tentu sangat berbeda dengan Al Qur'an, yang hingga kini diyakini oleh kaum Muslimin, sebagai “lafdhan wa ma’nan minallah” (lafadz dan maknanya dari Allah). Meskipun, sama-sama keluar dari mulut Rasulullah SAW, tetapi sejak awal sudah dibedakan antara Al Qur'an dengan hadits Nabi.
Menurut Paus, karena sifat Al Qur'an yang seperti itu, maka Al Qur'an tidak dapat diubah dan tidak dapat diaplikasikan (something dropped out of Heaven, which cannot be adapted or applied). Sifat yang tetap dan tidak berubah dari Al Qur'an itu, kata Paus, memiliki dampak besar, yakni bahwa Islam adalah agama yang tetap (statis), yang terpaku pada satu teks yang tidak dapat diadaptasikan (This immutability has vast consequences : it means “Islam is stuck. It’s stuck with a text that cannot be adapted”).
Daniel Pipes sendiri dalam artikelnya menyatakan kritiknya terhadap pendapat Paus tentang Al Qur'an tersebut. Al Qur'an, kata Pipes, tetap bisa di interpretasikan, dan penafsiran itu selalu berubah. Al Qur'an, sebagaimana Bible, juga memiliki sejarah.
Jadi, kesimpulan Pipes, Islam bukanlah statis, fixed, atau beku (stuck), sebagaimana dikatakan Paus, tetapi yang sangat besar diperlukan untuk membuat Islam terus bergerak atau berubah (As this suggests, Islam is not stuck. But huge efforts are needed to get it moving again).
Demikian pandangan Paus dan Pipes tentang Al-Quran dan Islam.
Pandangan Paus tentang Al Qur'an itu perlu dicermati, sebab Paus yang sekarang memang dikenal sangat gigih dalam mempertahankan dogma-dogma keimanan Katolik. Ia dikenal sangat konservatif dalam menjaga doktrin Katolik.
Pandangannya tentang Al Qur'an, pada satu sisi, memberikan pengakuan, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara konsep Al Qur'an sebagai Kalamullah, dengan konsep Bible sebagai ‘firman Tuhan’, yang mengandung unsur manusiawi.
Ini yang seharusnya juga disadari oleh umat Islam, khususnya kalangan cendekiawannya, sehingga tidak mudah begitu saja mengadopsi metodologi penafsiran Bible (hermeneutika), ke dalam metode penafsiran Al Qur'an.
Karakteristik Al Qur'an yang teksnya diakui sebagai wahyu oleh umat Islam, sangat berbeda dengan karakteristik teks Bible yang diakui oleh Paus, mengandung unsur-unsur manusiawi.
Tetapi, pada sisi lain, gambaran Paus tentang Al Qur'an dan Islam, juga terlalu sederhana, bahwa seolah-olah semua ajaran Islam dan penafsiran terhadap Al Qur'an adalah statis dan sama sekali tidak berubah.
Untuk hal-hal yang pokok (qath’iy) memang ayat-ayat Al Qur'an tidak bisa ditafsirkan dengan multi tafsir.
Semua kaum Muslimin akan bersepakat tentang hal-hal yang pokok dalam ajaran Islam. Semua umat Islam, misalnya, akan meyakini, bahwa Nabi Isa AS, adalah nabi utusan Allah, bukan Tuhan, atau anak Tuhan.
Nabi Isa juga tidak mati di tiang salib, sebagaimana diyakini oleh Paus dan pengikutnya. Tetapi, tidak semua penafsiran Al Qur'an bersifat beku dan jumud. Banyak ayat-ayat yang memungkinkan ada perbedaan pendapat dalam penafsiran.
Dalam ilmu tafsir, ayat-ayat itu dikenal dengan istilah ayat-ayat dzanniy. Tapi, apa pun perbedaan penafsiran dalam ayat-ayat dzanniy, umat Islam tetap berpegang pada teks Al Qur'an yang sama. Tidak pernah umat Islam terpikir untuk membuat Al Qur'an baru, kecuali dilakukan oleh sebagian kecil kalangan yang terpengaruh oleh cara berpikir dalam tradisi Kristen tentang Kitab mereka.
Jadi, gambaran Paus tentang ‘statisitas’ Islam, tidak sepenuhnya benar. Tapi, gambaran kaum liberal, yang mencoba menggambarkan Islam sebagai agama yang selalu berkembang mengikuti zaman dan situasi, juga tidak sepenuhnya benar.
Karena Islam masih memiliki teks wahyu yang asli dalam bahasa Arab, yang dijadikan pegangan umat Islam, sehingga ada doktrin-doktrin pokok dalam Islam yang sudah sempurna sejak zaman Rasulullah saw, dan tidak pernah berubah sampai akhir zaman. Umat Islam memiliki teks wahyu yang asli, karena itu tidak ada masalah bagi umat Islam untuk menerapkan penafsiran secara tekstual terhadap Al Qur'an.
Seperti dijelaskan pada catatan sebelumnya, masalah otentisitas teks Bible, hingga kini terus menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan teolog dan pakar Bible.
Penemuan sejumlah naskah Bible di Nag Hammadi, tahun 1945, juga menambah daftar panjang perdebatan tentang teks-teks Bible mana yang sebenarnya otoritatif untuk dijadikan sebagai “Kitab Suci”.
Kini, kaum Kristen hanya menjadikan empat Bible (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), sebagai kitab yang disahkan (canon). Sejumlah Bible, seperti Bible Marry, Thomas, atau Bible Philip, tidak dipandang sebagai kitab canon.
Karena itu, kini buku-buku tentang Gnostik Bible dan Gnostik Christian terus bermunculan, yang menggugat tradisi Kekristenan yang berlangsung sekitar 2000 tahun.
Elaine Pagels, misalnya, dalam bukunya, The Gnostic Gospels (London : Penguin Books, 1979), memunculkan berbagai tantangan pemikiran serius yang membongkar dasar-dasar keimanan kaum Kristen, termasuk masalah keabsahan Bible.
Sayangnya, sebagian kalangan Muslim sendiri, justru kemudian terjebak dalam keraguan tentang kebenaran Al Qur'an sebagai Kalamullah. Tanpa sadar, bahwa pandangan semacam itu telah menghancurkan keyakinan agamanya sendiri, tanpa bekal keilmuan yang memadai.
Kadangkala pandangan tentang Al Qur'an yang disamakan dengan Bible hanya dijadikan batu pijakan untuk melakukan liberalisasi di dalam penafsiran Al Qur'an.
Yang perlu di garis bawahi pada kata-kata Daniel Pipes adalah ungkapannya, bahwa Islam bisa diubah dan bisa berubah, dan untuk melakukannya, dilakukan usaha yang sangat besar. Usaha kaum orientalis dan Barat untuk mengubah Islam sudah dan sedang terus berjalan.
Mereka berusaha menjadikan Islam sebagai evolving religion, agama yang selalu berkembang dan berubah, sehingga Islam menjadi tanpa bentuk lagi, sehingga tidak ada lagi Islam yang satu, tidak ada Islam yang asli.
Sebab, setiap agama akan selalu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang baru, sebagaimana yang terjadi dalam Yahudi dan Kristen. Yang ada, kata mereka, adalah Islam yang banyak, Islam yang warna-warni, dan masing-masing pihak tidak boleh mengklaim diri atau kelompoknya yang benar sendiri.
Fenomena penyebaran paham “Islam relatif” ini sebenarnya sungguh keterlaluan, sebab Paus saja, yang mengakui adanya usnur manusiawi dalam Bible, menolak keras paham relativisme iman.
Dalam bukunya yang berjudul, The Rise of Benedict XVI (New York : Doubleday, 2005), John L. Allen J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A Dictatorship of Relativism.
Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat.
Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West).
Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai dictatorship of relativism in the West (hal. 165-166).
Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God (London : Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis : “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan : “relativism has become a dominant element in twentieth century theology (hal. 10)
Jadi, jika kaum Kristen yang kitab sucinya mengandung unsur-unsur manusiawi menolak paham relativisme iman, maka tentulah sangat aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam peradaban dunia Barat, yang ujung-ujungnya, adalah hilangnya keyakinan kaum Muslimin terhadap kebenaran agamanya sendiri. Wallahu a`lam. (",)v
Sumber : answering-ff.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar